Madu berisikan racun, bukankah begitu ungkapan yang ingin disampaikan tentang poligami?
Hal ini hanya dilakukan oleh orang-orang dengan kondisi masa lalu dan sekarang akan banyak menimbulkan masalah, begitulah kira-kira umumnya kesimpulan penolakan ini. Pikiran yang selalu disibukan dengan rasa kekesalan atau bisa jadi kebencian bukan tidak mungkin ada pada diri mengenai hal ini.
Pernahkah berfikir sejenak untuk merenungi apakah rasa dan ungkapan semacam ini sejalan dengan ajaran yang telah dan selalu membimbing ke arah yang benar atau sekarang ini sudah tidak bisa meyakini apa-apa lagi sehingga dengan angkuhnya menggunakan pikiran sendiri?
Jangan salahkan ajaran tsb karena sudah banyak contoh bagaimana orang-orang bertaqwa terdahulu menyikapi ajaran para nabi walaupun itu terasa ganjil atau memilih cara-cara orang-orang sesat terdahulu dengan langsung mencemooh dan menyakiti.
Selama ini apa sudah lebih mendalami atau sekedar permukaan saja, karena ajaran agama tidaklah instant, segalanya saling terkait untuk mendapatkan makna sebenarnya. Bab ini hanya dapat dimaknai oleh orang-orang yang bertaqwa yang tidak hubud dunia maka jadikanlah diri bertaqwa insya ‘Allah akan dapat memaknainya.
Ambilah pelajaran dari kisah nyata ini, seorang wanita memilih untuk membakar diri dan tak tertolong hanya karena kasus ini, dan mungkin banyak lagi kasus-kasus serupa. Jalan mana yang lebih sesat dan siapa yang rugi? Apakah sudah tahu hukum Allah akibat bunuh diri?
Atau pilih pisah, sudah jelas tidak di sukai oleh Allah tapi mengapa tetap memilih itu? Jika tidak disukai maka akan jauh rahmat Allah.
Atau tetap bertahan dan memaksakan pasangan agar tidak macam-macam? maka akan timbul perang dingin yang tidak berkesudahan belum lagi kemaksiatan akan menimpa ...